Rabu, 27 April 2011

Budaya Baca Kita

Kebanyakan orang Indonesia memiliki budaya baca berantakan. Disini saya meminjam kata “kebanyakan”, karena saya sadar masih banyak pula anak bangsa yang memiliki budaya baca “waras.”
Membaca menjadi semacam aktivitas ritual keramat yang hanya akan dilakukan ketika menghadapi ujian.  Selebihnya, ‘’ih.. rajin banget si lo hari gini masih belajar!’’ itulah ujaran kampungan yang sontak keluar dari mulut para pelajar, terlebih mahasiswa! Kalau kata bang Rhoma “sungguh terlalu!”
Ini bukan pernyataan saya yang rajin membaca. Dan tulisan ini juga tidak serta-merta dipersepsikan bahwa saya juga suka membaca. Duhai, saya juga sesungguhnya malas bersentuhan dengan benda yang bernama buku. terlebih, buku berat yang tebalnya bisa diukur  pake meteran, buku bahasa inggris yang bacanya wajib didampingi kamus, atau buku kuliah yang isinya menguras otak.
Namun, paling tidak saya masih menghargai budaya baca sebagai aktivitas sederhana yang bisa dilakukan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Baca bukan aktivitas sacral karena bukan pernikahan, bukan aktivitas keramat karena baca bukan kuburan sultan, juga bukan aktivitas tabu karena baca bukan kegiatan seksual. Tidak harus usil dengan cletukan-cletukan mahatidakpenting yang norak semisal “cieee belajar!” 
Miris memang saya mendengarnya. Ini adalah kesialan mental bangsa yang sudah mengendap puluhan tahun lamanya, dan beberapa abad pasca para pejuang mendeklarasikan proklamasi, pasca hengkangnya para kompeni atau bahkan pasca terjadinya reformasi.
Kemudian,  bangsa ini dibawa ke dimensi jaman yang jelas kontras berbeda. dimana segala sesuatu serba dimudahkan, dicepatkan, dimanjakan, dibuai, dikeloni kecanggihan, di anakemaskan, teknologi menjadi dewa, tapi sudah tidak langka. Kondisi semacam ini kerap dilabeli orang dengan frasa “pragmatis.”
Memang frasa ini tidak lantas mengantarkan orang pada sikap-sikap anti baca yang disebutkan diatas. Namun kebanyakan dari mereka yang setia menyembah kehidupan serba praktis cendrung antipati terhadap aktivitas yang namanya B-A-C-A. Seolah ada penamaan hina yang dilekatkan pada orang rajin baca, semisal ‘‘kutu buku!‘‘
Gelar kutubuku bisa dipersepsikan sebagai gelar freak yang hanya halal dilakukan oleh mereka pecinta buku.
Aneh.aneh.aneh. tapi ya sudahlah, gitu aja ko repot?!

3 komentar:

  1. Ahh, membaca tulisan uli, sy percaya bahwa budaya baca majalah playboy harus ditingkatkan! hehehe. good posting

    BalasHapus
  2. anda melankolis,
    kalau saya bodo deh si "kebanyakan" mo ngomong apa he..
    tapi kalo di compare, sikap anda itu lebih baik
    jadi, good posting ulay
    ribet banget ya? ahaha

    BalasHapus