Senin, 17 Oktober 2011

MATI SAJA



Matisaja.com
Berikan aku sebilah pisau untuk ku persembahkan pada tubuh ku
Berikan aku sekerat botol racun untuk ku alirkan dalam darahku
Aku tak ingin mewarnai hidupku dengan cerita setan ,
sama sekali tak pernah ku minta itu pada tuhan sejak dalam kandungan
Sejak aku menggumpal sebagai darah
Sejak kali pertama aku  diubah-Nya menjadi daging yang ber-otak
Sejak kali pertama aku dibentuk-Nya dalam kalimat “kun fayakun”
Ada sampur bercorak melingkar sanggar, namun sama sekali aku tak berminat mengutasnya sebagai tali, atau membuatkan simpul padanya agar aku mati.
Aku hanya ingin mati dengan caraku sendiri, tanpa bau darah yang menghunus
Atau teriakan orang kampung yang histeris melihat mayatku yang melotot dan mengglantung
Sumpah! pisau dan sekerat botol racun saja sudah cukup sebagai sesembahan  tubuhku pada kuburan
Pada cacing-cacing tamak yang tak puas sekedar memakan tanah
Atau pada belatung-belatung liar yang tak puas sekedar menghisap sampah

***

Hay malakut! Segera ambil nafasku, aku bosan hidup!
Dunia sudah tak membutuhkanku
Para dewa sudah melemparku
Setan pun sudah mencibirku
Sekalipun atas pasrahku, sekalipun besok tuhan membakarku, aku tetap akan mengucap kalimat itu
Ini saatnya bagi ku teriak sebelum mati
“Asyhadualla Illa Ha Illalah…….”



Ciputat, mari berdoa untuk sebuah kehidupan.


Rabu, 12 Oktober 2011

BUKAN PSIKIATRIAT




Orang gila benci disebut gila. Orang gila benci dikatakan tidak waras dan sinting. Orang gila bukan mereka yang ber-otak kosong dan berpandangan melongpong. Orang gila tetap ingin diakui haknya sebagai manusia, Sekalipun manusia gila. Orang gila benci diteriaki dan ditertawakan. Orang gila benci mengamuk seperti orang kesetanan, orang gila hanya bisa diam melihat orang waras yang memicingkan mata padanya, menyumpahi atau bahkan meludahi harkatnya. Orang gila tidak bersalah. Gila hanya rekayasa tuhan untuk manusia, gila hanya cara kita memandang hidup.
‘‘Aku bukan pesakitan, jangan bawa aku dalam ambulan. Aku tidak ingin ditangani dokter hewan. Rambut ku hanya gondrong, mata ku hanya kosong, bajuku yang bau kotoran, tapi sumpah aku sejatinya orang waras, aku hanya ditakdirkan tuhan.‘‘
Jafran menjerit keras, namun jeritannya cukup disimpan dalam hati, bukan dalam umpatan, tapi dalam penyesalan tentang orang waras yang tak punya hati.
Namun, tak ada yang sanggup mendengar, kecuali organ kemaluan yang sesekali menghunuskan bau busuk pencemaran kuman. Kesimpulannya, Jafran jarang mandi, Jafran jarang Cebok, Jafran benci air! Air sejatinya musuh Spartan yang menjatuhkan tembakan meriam, berbahaya dan luar biasa jahatnya. Entahlah.
Tapi orang yang mengaku waras itu memahami teori Jafran dalam arti lain. Damn it, rutuk Jafran
‘’Jafran bau tai.. Jafran jarang mandi…. ‘’ teriakan bocah kampung itu selalu mengalun dalam ingatannya, sempurna menggerus semua keyakinannya bahwa Jafran masih waras.
Namun Jafran tetap keras memandang bahwa orang salah mengira. ‘’dikiranya saya gila,hahaha.’’ Gumam nya pelan dalam derai rambut jabrik yang menutupi keseluruhan wajahnya.

***

Gila tidak dibagi dalam sekat kategori, gila juga bukan klasifikasi histeris akut atau mereka yang sengaja mengklaim diri nyentrik-menggila seperti yang banyak dilakukan  para artis sinetronan. Gila ya gila, tidak bisa di definisi frasa, tidak bisa ditafsir kata atau bahkan di fahami sebagai makna.

***

‘’ruang apa ini, bau dan gelap? Tidak indah seperti kamarku di panti asuhan?‘‘ Jafran bertanya pada tikus yang mengintip dari celah internit yang ditrabasnya sampai bolong.
Namun tak ada jawaban, tikus itu diam karena bukan tikus ajaib Cinderella. Jafran memicingkan mata sembari menyumpah tikus yang tak sedikitpun berkelakar  atau sekedar berbasa-basi dengannya.
‘‘dasar tikus Gila!! Hihihihi‘‘ umpatnya bahagia.[1]

***

kaum gila sejajar dengan kaum lain yang menghimpun diri dalam komunitas. Komunitas Underground, komunitas Skinhead, Komunitas Jurnalis, sampai komunitas pengajian. Apapun itu judulnya. Gila juga perlu kumpulan, agar mereka bisa bebas memandang dunia tanpa ada yang mencibirnya, atau memonyongkan mulut demi menghinanya.

***

 ‘‘pelangi-pelangi, alangkah indahmu... merah kuning hijau dilangit yang bau! Hahahaha.. pelangi bau, pelangi bau! Hihihih‘‘
 Jafran tak mampu memandang rekannya yang juga dicap orang waras sebagai si gila. Bagi Jafran, dia menyanyi indah. Mampu menghibur yang tak dapat diberikan orang waras.
‘‘Jafran, ayo nyanyi! Hahahah.. lagunya bagus, eh.. lagunya bau! Hihihihi‘‘ teriak si rekan gila girang
Jafran antusias, dia tersenyum senang. Tertawa bersama cekikikan.

***

Satu minggu di tempat ini membuat Jafran Kerasan, dia tak berencana pindah tempat apalagi pulang ke rumah. Cukup baginya tempat ini jadi plesit paling menarik di alam dunia. Plesit yang menghimpunnya bersama sekawanan lain yang sekali lagi di Cap manusia waras dalam satu kata pemuas G I L A !!
Bagi Jafran, keluar artinya ancaman. Karena dia tidak sekedar akan dikucilkan, tetapi secara sadar telah menumbalkan diri untuk dibuang kejalanan.
Tiga atau empat tahun lalu, Jafran serupa hal nya dengan lelaki kebanyakan. Dia belajar, bekerja, berkawin dan beranak-pinak. Kehidupannya walau sederhana, tapi bahagia. Sampai pada suatu sore yang telah membawa nya dalam episode mahadahsyat, dimana dia mendapati Istri dan anak-anaknya sebagai  jelmaan setan duyung yang didaulat kakek moyangnya dari jaman ajali.
Sambil setengah depresi, Jafran  melantun doa, ‘’Tuhan sang pemilik setan, tolong rubah istri dan anak-anak ku dalam bentuk serupa manusia biasa. Sungguh tak mampu aku menanggung beban beberapa ekor keturunan setan ikan di rumahku. Apa yang hendak dikata para tetangga kelak, ‘’ pintanya sembari meratap
Dan sampai kapanpun ternyata tuhan tidak mendengar doa Jafran. Tuhan hanya tersenyum sambil berfirman, ‘’Nikmat manakah yang kamu dustakan ?’’
Jafran mengklaim bahwa tuhan tidak berpihak padanya, tuhan bahkan menuduh berdusta pada nikmat-Nya. Sampai kapanpun Jafran tidak menerima perlakuan tuhan atasnya.
Oleh sebab itu semua, Jafran menyepi ke daerah Batu Rejug  yang terkenal sebagai tanah warisan bromocorah brandal. Pada niat awal, Jafran ingin bertemu dan menagih wangsit kakek moyang yang menjadikan anak-Istrinya sebagai setan ikan duyung buruk rupa, namun niatnya harus runtuh seketika akibat Jafran yang memang tidak memiliki silsilah indang cenayang, sehingga sekuat apapun pertapaannya, dia tidak akan pernah diwarisi apapun oleh kekuatan gaib tersebut.
Alih-alih merubah wujud istri dan anak nya, Jafran malah dikutuk jadi orang sinting seumur hidup. Malang nian nasibnya, walaupun ia berusaha menyirap itu semua, namun ia tetap si Sinting yang lahir pada tatanan dunia baru.

Sadarkah Jafran bahwa itu tidak sekedar kutukan melainkan sebuah umpatan dan amarah tuhan karena dia telah berbuat syirik kepada-Nya ??

Jafran bukan tidak sadar akan hal itu, tetapi ia meyakini bahwa itu semata-mata urusan agama. Biarlah akherat yang menentukan akan dilempar kemana ia kelak, Syurga atau Neraka ? yang Jelas saat ini, Jafran selalu yakin bahwa ia tidak gila. Penamaan ‘’gila’’ atau ‘’sinting’’ hanyalah milik struktur sosial layaknya penamaan kelas sosial pengikut aliran Marxis.

***

Dunia bagi si Gila adalah dunia dari segala rasa, serpihan emosional yang terangkum dalam puzzle, Puzzle pskiatriat. Gila beneran yang sudah kolokal, yang sudah tidak memahami akal, yang menyandu seperti Ciu, yang merekat dan tak lekang.

***

Ciputat, sekian oktober duaribu sekian.



[1] Fakta bahwa tak ada manusia berakal  sehat yang dapat mengumpat sambil tertawa. Tapi ingat, Jafran tetap tidak gila. Do not ever Say That!

Sabtu, 01 Oktober 2011

SI BOHAI


SI BOHAI
Noor Rahmah Julia
Pagi ini saya melihat kucing gemuk berkeliaran di halaman belakang. Ia mengeong, mencari sedikit sesembahan untuk perutnya. Harapannya pagi itu adalah mendapatkan sesuap rezeki untuk sekedar sarapan pagi.
Kucing itu tidak berhenti mengong, mengeluarkan suara maut yang dimilikinya, entah lapar atau hanya mencari perhatian lawan jenisnya.
Belakangan diketahui bahwa kucing itu hamil. Anak nya menurut USG ada 6, semuanya belang, kecuali satu yang tidak belang, dan dia akan terlahir sebagai kucing hitam. Kelak, perkiraan saya, kucing itu pasti akan dijauhi, karena dianggap jelek, dan tidak rupawan.
Tetapi pagi ini, kucing itu kembali mengeong bukan untuk lapar. Dia memang kucing centil yang tak kenyang mencari perhatian kucing-kucing pria di wilayahnya. Harus saya akui dia cukup menarik, karena badannya semok dan Bohai. Jalannya lengak-lenggok kaya mau jaipongan.
Kemarin saya juga melihat kucing serupa menangis, yang ini mukanya segi lima. Ia menangis dan air matanya turun bersama belek. Dia berujar, bahwa wajahnya tak cantik, bulat dan berbentuk segilima. Suaminya pergi meniggalkannya, berselingkuh dengan kucing yan semok dan juga Bohai.
Kata dokter kandungan, usia kehamilan si Bohai tidak lama. Artinya sebentar lagi dia mau punya bayi. Bayi nya lucu, tapi sekali lagi, ada satu yang beda, beda karena warnanya hitam sendiri.
Si Bohai tampak kebingungan. Jangankan mengurus 6 orang anaknya, makan tiap hari saja dia harus menyelinap masuk dan mengendap ke rumah manusia. Dan itu tidaklah mudah. Bohai akan dikuntit dan dikejar manusia, belum lagi dia harus menghadapi tantangan sapu lidi, yang kapanpun siap mendarat di bulu-bulu halus Bohai akibat ulahnya mencuri ikan-ikan sisa.
Fikirannya menerawang. Bohai kembali mengingat kucing jantan yang menghamili nya. Dia memang jantan tapi bukan suaminya.  Sedangkan Si Bohai tidak punya sanak  saudara, sekandung atau se-angkat. Lagipula, kebanyakan warga kucing benci si Bohai, terutama para kucing wanita yang suaminya pernah disambar. Mereka jelas akan serta merta menyerapah dan mengutuk si Bohai, bisa jadi si Bohai diusir dari kampungnya. Lalu dikatai, “Ucing sundel!”
Si Bohai memekik, tak tahan dengan penderitaan yang dialaminya. Dia heran mengapa dia selalu jadi pelarian kemarahan warga. Padahal, jelas ia merasa tak berdosa. Ia hanya memiliki cantik. Itu saja.  dia tidak salah,
“Ini denah kucing, tak ada aturan dan moral yang berlaku.Ini denah kucing tak dibekali etika dan konsep agama. Ini denah kucing, tak gunakan logika dan tak ada tenggang rasa,”  protes Bohai suatu ketika
Bohai mengeong,, setiap eongan nya lembut dan mendesah. Apabila para jantan mendengar, birahi mereka naik dan memuncak.
Sekai lagi si Bohai tidak salah, “saya Cuma kucing, tak mengenal setia jiwa dan raga, jangan salah kan saya jika saya harus bercinta dengan siapa saja” ujar nya
Mungkin si Bohai lupa, paska perang dingin, tatanan dunia menjadi berubah.  Karena pertarungan konsep positipis dan pos-positipis tak pernah usai.  Akibatnya, para kucing jantan banyak berfikir tentang struktur dunia yang anarki, konsep manusia yang sangat agresif seperti yang dikatakan Hobes. Atau Bohai tidak tau, para kucing jantan itu juga membaca leviathan dan Ilprince nya machiaveli. Sehingga para kucing jantan itu akan menggunakan kuantitas agresivitas yang tak terkendali, Bohai akan ada dibawah bayang-bayang para kucing jantan realis.
Begitupun dengan para kucing wanita. Mereka berlomba memperkaya wacana dengan penerapanan konsep emansipasi dan persamaan gender, mereka tidak hanya bercinta dan membuat anak. Mereka juga tidak selalu memikirkan bagaimanan caranya mencuri ikan asin. Mereka sekarang tidak ingin dipoligami, mereke berdemo, dan mengecam para wanita penggoda macam Bohai.
Bohai tercenung dan tidak henti berfikir, “apakah dunia sudah benar-benar merubah karakter utama para kucing? Apakah ini artinya akan ada sebuah teori evolusi baru, yakni kucing saat ini akan menjadi manusia dimasa depan?”
Sungguh ini terlalu rumit bagi tempurung otak si Bohai. faktanya adalah Bohai hanya ingin hidup menjadi kucing normal yang tidak pernah terikat moral. Bukan kucing masa kini yang dilumuri  kepintaran licik! Sedangkan dirinya? Hanya kucing kampung yang dipungut mang Ipul dari pinggir komplek kontrakan para tukang.
“Meong.. meonng..”  Bohai kembali mengaduh pada tuhan tentang nasibnya yang tak rupawan. Ia ingin kembali ke kampung, bersama kucing-kucing polos yang juga tak kenal moral. Kucing kampung teman-teman Bohai yang selalu merasa bebas untuk mencari ikan asin dimanapun dan tidur dengan siapapun. Tentunya bagi mereka, Kelahiran anak tidak jadi masalah karena tidak butuh status marital, anak siapapun dan melahirkan dimanapun.
Kembali Bohai kebingungan karena ada program baru dari pemerintah kota tentang pengurangan jumlah anak demi mereduksi kemiskinan. Dua anak cukup! Seingat Bohai, itu slogan terakhir yang ia baca di pamplet-pemplet pinggir jalan. “duh, bagaimana ini, anak saya kan 6. Susah sekali hidup di dunia kucing yang bersinggungan dengan manusia,” rutuknya sembarang.
Suatu ketika si Bohai berjalan sendiri, sambil menggelandong perutnya yang buncit, dia berininsiatif untuk mengakhiri hidupya.
Baginya,  ketika mati, Roqib dan Atid tidak akan bertanya tentang amalannya di dunia. Tentang kenapa dia tidak menikah secara resmi dibawah bendera hijau KUA, tentang kenapa dia sering sekali berganti pasangan, tentang siapa Bapak dari anak-anak yang dikandungnya, dan tentang hal lain yang berkaitan dengan amalan, kesolehan, etika, dan moral.
Bahkan, ketika matipun, dia hanya pasrah menjadi tanah yang digeliati cacing dan di tumpahi muntah kucing. Dia akan hidup sebagi tanah, bersama mayat orang-orang gila dan sinting. Karena itu sudah ketentuan tuhan
Bohai berjalan menyusur takdir, “sebentar lagi,” fikirnya.