Orang gila benci
disebut gila. Orang gila benci dikatakan tidak waras dan sinting. Orang gila
bukan mereka yang ber-otak kosong dan berpandangan melongpong. Orang gila tetap
ingin diakui haknya sebagai manusia, Sekalipun manusia gila. Orang gila benci diteriaki
dan ditertawakan. Orang gila benci mengamuk seperti orang kesetanan, orang gila
hanya bisa diam melihat orang waras yang memicingkan mata padanya, menyumpahi
atau bahkan meludahi harkatnya. Orang gila tidak bersalah. Gila hanya rekayasa
tuhan untuk manusia, gila hanya cara kita memandang hidup.
‘‘Aku bukan pesakitan, jangan bawa aku dalam ambulan. Aku tidak ingin
ditangani dokter hewan. Rambut ku hanya gondrong, mata ku hanya kosong, bajuku
yang bau kotoran, tapi sumpah aku sejatinya orang waras, aku hanya ditakdirkan
tuhan.‘‘
Jafran menjerit keras, namun jeritannya cukup disimpan dalam hati, bukan
dalam umpatan, tapi dalam penyesalan tentang orang waras yang tak punya hati.
Namun, tak ada yang sanggup mendengar, kecuali organ kemaluan yang
sesekali menghunuskan bau busuk pencemaran kuman. Kesimpulannya,
Jafran jarang mandi, Jafran jarang Cebok, Jafran benci air! Air sejatinya musuh
Spartan yang menjatuhkan tembakan meriam, berbahaya dan luar biasa jahatnya.
Entahlah.
Tapi orang yang mengaku
waras itu memahami teori Jafran dalam arti lain. Damn it, rutuk Jafran
‘’Jafran bau tai.. Jafran
jarang mandi…. ‘’ teriakan bocah kampung itu selalu mengalun dalam ingatannya, sempurna
menggerus semua keyakinannya bahwa Jafran masih waras.
Namun Jafran tetap
keras memandang bahwa orang salah mengira. ‘’dikiranya saya gila,hahaha.’’
Gumam nya pelan dalam derai rambut jabrik yang menutupi keseluruhan wajahnya.
***
Gila tidak dibagi dalam
sekat kategori, gila juga bukan klasifikasi histeris akut atau mereka yang sengaja
mengklaim diri nyentrik-menggila seperti yang banyak dilakukan para artis sinetronan. Gila ya gila, tidak
bisa di definisi frasa, tidak bisa ditafsir kata atau bahkan di fahami sebagai
makna.
***
‘’ruang apa ini, bau dan gelap? Tidak indah seperti kamarku di panti
asuhan?‘‘ Jafran bertanya pada tikus yang mengintip dari celah internit yang
ditrabasnya sampai bolong.
Namun tak ada jawaban, tikus itu diam karena bukan tikus ajaib
Cinderella. Jafran memicingkan mata sembari menyumpah tikus yang tak sedikitpun
berkelakar atau sekedar berbasa-basi
dengannya.
kaum gila sejajar dengan kaum lain yang menghimpun diri dalam komunitas.
Komunitas Underground, komunitas Skinhead, Komunitas Jurnalis, sampai komunitas
pengajian. Apapun itu judulnya. Gila juga perlu kumpulan, agar mereka bisa
bebas memandang dunia tanpa ada yang mencibirnya, atau memonyongkan mulut demi
menghinanya.
***
‘‘pelangi-pelangi, alangkah
indahmu... merah kuning hijau dilangit yang bau! Hahahaha.. pelangi bau,
pelangi bau! Hihihih‘‘
Jafran tak mampu memandang
rekannya yang juga dicap orang waras sebagai si gila. Bagi Jafran, dia menyanyi
indah. Mampu menghibur yang tak dapat diberikan orang waras.
Jafran antusias, dia tersenyum senang. Tertawa bersama cekikikan.
***
Satu minggu di tempat ini membuat Jafran Kerasan, dia tak berencana
pindah tempat apalagi pulang ke rumah. Cukup baginya tempat ini jadi plesit paling menarik di
alam dunia. Plesit yang menghimpunnya bersama sekawanan lain yang sekali lagi
di Cap manusia waras dalam satu kata pemuas G I L A !!
Bagi Jafran, keluar artinya ancaman. Karena dia tidak sekedar akan dikucilkan, tetapi secara sadar
telah menumbalkan diri untuk dibuang kejalanan.
Tiga atau empat tahun lalu, Jafran serupa hal nya dengan lelaki kebanyakan.
Dia belajar, bekerja, berkawin dan beranak-pinak. Kehidupannya walau sederhana,
tapi bahagia. Sampai pada suatu sore yang telah membawa nya dalam episode
mahadahsyat, dimana dia mendapati Istri dan anak-anaknya sebagai jelmaan setan duyung yang didaulat kakek
moyangnya dari jaman ajali.
Sambil setengah depresi, Jafran
melantun doa, ‘’Tuhan sang pemilik setan, tolong rubah istri dan
anak-anak ku dalam bentuk serupa manusia biasa. Sungguh tak mampu aku
menanggung beban beberapa ekor keturunan setan ikan di rumahku. Apa yang hendak
dikata para tetangga kelak, ‘’ pintanya sembari meratap
Dan sampai kapanpun ternyata tuhan tidak mendengar doa Jafran. Tuhan hanya
tersenyum sambil berfirman, ‘’Nikmat manakah yang kamu dustakan ?’’
Jafran mengklaim bahwa tuhan tidak berpihak padanya, tuhan bahkan
menuduh berdusta pada nikmat-Nya. Sampai kapanpun Jafran tidak menerima
perlakuan tuhan atasnya.
Oleh sebab itu semua, Jafran menyepi ke daerah Batu Rejug yang terkenal sebagai tanah warisan bromocorah
brandal. Pada niat awal, Jafran ingin bertemu dan menagih wangsit kakek moyang
yang menjadikan anak-Istrinya sebagai setan ikan duyung buruk rupa, namun
niatnya harus runtuh seketika akibat Jafran yang memang tidak memiliki silsilah
indang cenayang, sehingga sekuat apapun pertapaannya, dia tidak akan pernah diwarisi
apapun oleh kekuatan gaib tersebut.
Alih-alih merubah wujud istri dan anak nya, Jafran malah dikutuk jadi
orang sinting seumur hidup. Malang nian nasibnya, walaupun ia berusaha menyirap
itu semua, namun ia tetap si Sinting yang lahir pada tatanan dunia baru.
Sadarkah Jafran bahwa itu tidak sekedar kutukan
melainkan sebuah umpatan dan amarah tuhan karena dia telah berbuat syirik
kepada-Nya ??
Jafran bukan tidak sadar akan hal itu, tetapi ia
meyakini bahwa itu semata-mata urusan agama. Biarlah akherat yang menentukan
akan dilempar kemana ia kelak, Syurga atau Neraka ? yang Jelas saat ini,
Jafran selalu yakin bahwa ia tidak gila. Penamaan ‘’gila’’ atau ‘’sinting’’
hanyalah milik struktur sosial layaknya penamaan kelas sosial pengikut aliran Marxis.
***
Dunia bagi si Gila adalah dunia dari segala rasa, serpihan emosional
yang terangkum dalam puzzle, Puzzle pskiatriat. Gila beneran yang sudah
kolokal, yang sudah tidak memahami akal, yang menyandu seperti Ciu, yang
merekat dan tak lekang.
***
Ciputat,
sekian oktober duaribu sekian.
[1] Fakta bahwa tak ada manusia berakal
sehat yang dapat mengumpat sambil
tertawa. Tapi ingat, Jafran tetap tidak gila. Do not ever Say That!
Pagi ini saya melihat kucing gemuk
berkeliaran di halaman belakang. Ia mengeong, mencari sedikit sesembahan untuk
perutnya. Harapannya pagi itu adalah mendapatkan sesuap rezeki untuk sekedar
sarapan pagi.
Kucing itu tidak berhenti mengong,
mengeluarkan suara maut yang dimilikinya, entah lapar atau hanya mencari
perhatian lawan jenisnya.
Belakangan diketahui bahwa kucing
itu hamil. Anak nya menurut USG ada 6, semuanya belang, kecuali satu yang tidak
belang, dan dia akan terlahir sebagai kucing hitam. Kelak, perkiraan saya,
kucing itu pasti akan dijauhi, karena dianggap jelek, dan tidak rupawan.
Tetapi pagi ini, kucing itu kembali
mengeong bukan untuk lapar. Dia memang kucing centil yang tak kenyang mencari
perhatian kucing-kucing pria di wilayahnya. Harus saya akui dia cukup menarik,
karena badannya semok dan Bohai. Jalannya lengak-lenggok kaya mau jaipongan.
Kemarin saya juga melihat kucing
serupa menangis, yang ini mukanya segi lima. Ia menangis dan air matanya turun
bersama belek. Dia berujar, bahwa wajahnya tak cantik, bulat dan berbentuk
segilima. Suaminya pergi meniggalkannya, berselingkuh dengan kucing yan semok
dan juga Bohai.
Kata dokter kandungan, usia kehamilan
si Bohai tidak lama. Artinya sebentar lagi dia mau punya bayi. Bayi nya lucu,
tapi sekali lagi, ada satu yang beda, beda karena warnanya hitam sendiri.
Si Bohai tampak kebingungan.
Jangankan mengurus 6 orang anaknya, makan tiap hari saja dia harus menyelinap
masuk dan mengendap ke rumah manusia. Dan itu tidaklah mudah. Bohai akan
dikuntit dan dikejar manusia, belum lagi dia harus menghadapi tantangan sapu
lidi, yang kapanpun siap mendarat di bulu-bulu halus Bohai akibat ulahnya
mencuri ikan-ikan sisa.
Fikirannya menerawang. Bohai
kembali mengingat kucing jantan yang menghamili nya. Dia memang jantan tapi
bukan suaminya. Sedangkan Si Bohai tidak
punya sanak saudara, sekandung atau se-angkat.
Lagipula, kebanyakan warga kucing benci si Bohai, terutama para kucing wanita
yang suaminya pernah disambar. Mereka jelas akan serta merta menyerapah dan
mengutuk si Bohai, bisa jadi si Bohai diusir dari kampungnya. Lalu dikatai, “Ucing
sundel!”
Si Bohai memekik, tak tahan dengan
penderitaan yang dialaminya. Dia heran mengapa dia selalu jadi pelarian
kemarahan warga. Padahal, jelas ia merasa tak berdosa. Ia hanya memiliki
cantik. Itu saja. dia tidak salah,
“Ini denah kucing, tak ada aturan
dan moral yang berlaku.Ini denah kucing tak dibekali etika dan konsep agama.
Ini denah kucing, tak gunakan logika dan tak ada tenggang rasa,” protes Bohai suatu ketika
Bohai mengeong,, setiap eongan nya
lembut dan mendesah. Apabila para jantan mendengar, birahi mereka naik dan
memuncak.
Sekai lagi si Bohai tidak salah,
“saya Cuma kucing, tak mengenal setia jiwa dan raga, jangan salah kan saya jika
saya harus bercinta dengan siapa saja” ujar nya
Mungkin si Bohai lupa, paska perang
dingin, tatanan dunia menjadi berubah.
Karena pertarungan konsep positipis dan pos-positipis tak pernah
usai. Akibatnya, para kucing jantan
banyak berfikir tentang struktur dunia yang anarki, konsep manusia yang sangat
agresif seperti yang dikatakan Hobes. Atau Bohai tidak tau, para kucing jantan
itu juga membaca leviathan dan Ilprince nya machiaveli. Sehingga para kucing
jantan itu akan menggunakan kuantitas agresivitas yang tak terkendali, Bohai
akan ada dibawah bayang-bayang para kucing jantan realis.
Begitupun dengan para kucing
wanita. Mereka berlomba memperkaya wacana dengan penerapanan konsep emansipasi
dan persamaan gender, mereka tidak hanya bercinta dan membuat anak. Mereka juga
tidak selalu memikirkan bagaimanan caranya mencuri ikan asin. Mereka sekarang
tidak ingin dipoligami, mereke berdemo, dan mengecam para wanita penggoda macam
Bohai.
Bohai tercenung dan tidak henti
berfikir, “apakah dunia sudah benar-benar merubah karakter utama para kucing?
Apakah ini artinya akan ada sebuah teori evolusi baru, yakni kucing saat ini
akan menjadi manusia dimasa depan?”
Sungguh ini terlalu rumit bagi tempurung
otak si Bohai. faktanya adalah Bohai hanya ingin hidup menjadi kucing normal
yang tidak pernah terikat moral. Bukan kucing masa kini yang dilumuri kepintaran licik! Sedangkan dirinya? Hanya
kucing kampung yang dipungut mang Ipul dari pinggir komplek kontrakan para
tukang.
“Meong.. meonng..” Bohai kembali mengaduh pada tuhan tentang
nasibnya yang tak rupawan. Ia ingin kembali ke kampung, bersama kucing-kucing
polos yang juga tak kenal moral. Kucing kampung teman-teman Bohai yang selalu
merasa bebas untuk mencari ikan asin dimanapun dan tidur dengan siapapun. Tentunya
bagi mereka, Kelahiran anak tidak jadi masalah karena tidak butuh status
marital, anak siapapun dan melahirkan dimanapun.
Kembali Bohai kebingungan karena
ada program baru dari pemerintah kota tentang pengurangan jumlah anak demi
mereduksi kemiskinan. Dua anak cukup! Seingat Bohai, itu slogan terakhir yang
ia baca di pamplet-pemplet pinggir jalan. “duh, bagaimana ini, anak saya kan 6.
Susah sekali hidup di dunia kucing yang bersinggungan dengan manusia,” rutuknya
sembarang.
Suatu ketika si Bohai berjalan
sendiri, sambil menggelandong perutnya yang buncit, dia berininsiatif untuk
mengakhiri hidupya.
Baginya, ketika mati, Roqib dan Atid tidak akan
bertanya tentang amalannya di dunia. Tentang kenapa dia tidak menikah secara resmi
dibawah bendera hijau KUA, tentang kenapa dia sering sekali berganti pasangan,
tentang siapa Bapak dari anak-anak yang dikandungnya, dan tentang hal lain yang
berkaitan dengan amalan, kesolehan, etika, dan moral.
Bahkan, ketika matipun, dia hanya
pasrah menjadi tanah yang digeliati cacing dan di tumpahi muntah kucing. Dia
akan hidup sebagi tanah, bersama mayat orang-orang gila dan sinting. Karena itu
sudah ketentuan tuhan
Bohai berjalan menyusur takdir,
“sebentar lagi,” fikirnya.