Sabtu, 01 Oktober 2011

SI BOHAI


SI BOHAI
Noor Rahmah Julia
Pagi ini saya melihat kucing gemuk berkeliaran di halaman belakang. Ia mengeong, mencari sedikit sesembahan untuk perutnya. Harapannya pagi itu adalah mendapatkan sesuap rezeki untuk sekedar sarapan pagi.
Kucing itu tidak berhenti mengong, mengeluarkan suara maut yang dimilikinya, entah lapar atau hanya mencari perhatian lawan jenisnya.
Belakangan diketahui bahwa kucing itu hamil. Anak nya menurut USG ada 6, semuanya belang, kecuali satu yang tidak belang, dan dia akan terlahir sebagai kucing hitam. Kelak, perkiraan saya, kucing itu pasti akan dijauhi, karena dianggap jelek, dan tidak rupawan.
Tetapi pagi ini, kucing itu kembali mengeong bukan untuk lapar. Dia memang kucing centil yang tak kenyang mencari perhatian kucing-kucing pria di wilayahnya. Harus saya akui dia cukup menarik, karena badannya semok dan Bohai. Jalannya lengak-lenggok kaya mau jaipongan.
Kemarin saya juga melihat kucing serupa menangis, yang ini mukanya segi lima. Ia menangis dan air matanya turun bersama belek. Dia berujar, bahwa wajahnya tak cantik, bulat dan berbentuk segilima. Suaminya pergi meniggalkannya, berselingkuh dengan kucing yan semok dan juga Bohai.
Kata dokter kandungan, usia kehamilan si Bohai tidak lama. Artinya sebentar lagi dia mau punya bayi. Bayi nya lucu, tapi sekali lagi, ada satu yang beda, beda karena warnanya hitam sendiri.
Si Bohai tampak kebingungan. Jangankan mengurus 6 orang anaknya, makan tiap hari saja dia harus menyelinap masuk dan mengendap ke rumah manusia. Dan itu tidaklah mudah. Bohai akan dikuntit dan dikejar manusia, belum lagi dia harus menghadapi tantangan sapu lidi, yang kapanpun siap mendarat di bulu-bulu halus Bohai akibat ulahnya mencuri ikan-ikan sisa.
Fikirannya menerawang. Bohai kembali mengingat kucing jantan yang menghamili nya. Dia memang jantan tapi bukan suaminya.  Sedangkan Si Bohai tidak punya sanak  saudara, sekandung atau se-angkat. Lagipula, kebanyakan warga kucing benci si Bohai, terutama para kucing wanita yang suaminya pernah disambar. Mereka jelas akan serta merta menyerapah dan mengutuk si Bohai, bisa jadi si Bohai diusir dari kampungnya. Lalu dikatai, “Ucing sundel!”
Si Bohai memekik, tak tahan dengan penderitaan yang dialaminya. Dia heran mengapa dia selalu jadi pelarian kemarahan warga. Padahal, jelas ia merasa tak berdosa. Ia hanya memiliki cantik. Itu saja.  dia tidak salah,
“Ini denah kucing, tak ada aturan dan moral yang berlaku.Ini denah kucing tak dibekali etika dan konsep agama. Ini denah kucing, tak gunakan logika dan tak ada tenggang rasa,”  protes Bohai suatu ketika
Bohai mengeong,, setiap eongan nya lembut dan mendesah. Apabila para jantan mendengar, birahi mereka naik dan memuncak.
Sekai lagi si Bohai tidak salah, “saya Cuma kucing, tak mengenal setia jiwa dan raga, jangan salah kan saya jika saya harus bercinta dengan siapa saja” ujar nya
Mungkin si Bohai lupa, paska perang dingin, tatanan dunia menjadi berubah.  Karena pertarungan konsep positipis dan pos-positipis tak pernah usai.  Akibatnya, para kucing jantan banyak berfikir tentang struktur dunia yang anarki, konsep manusia yang sangat agresif seperti yang dikatakan Hobes. Atau Bohai tidak tau, para kucing jantan itu juga membaca leviathan dan Ilprince nya machiaveli. Sehingga para kucing jantan itu akan menggunakan kuantitas agresivitas yang tak terkendali, Bohai akan ada dibawah bayang-bayang para kucing jantan realis.
Begitupun dengan para kucing wanita. Mereka berlomba memperkaya wacana dengan penerapanan konsep emansipasi dan persamaan gender, mereka tidak hanya bercinta dan membuat anak. Mereka juga tidak selalu memikirkan bagaimanan caranya mencuri ikan asin. Mereka sekarang tidak ingin dipoligami, mereke berdemo, dan mengecam para wanita penggoda macam Bohai.
Bohai tercenung dan tidak henti berfikir, “apakah dunia sudah benar-benar merubah karakter utama para kucing? Apakah ini artinya akan ada sebuah teori evolusi baru, yakni kucing saat ini akan menjadi manusia dimasa depan?”
Sungguh ini terlalu rumit bagi tempurung otak si Bohai. faktanya adalah Bohai hanya ingin hidup menjadi kucing normal yang tidak pernah terikat moral. Bukan kucing masa kini yang dilumuri  kepintaran licik! Sedangkan dirinya? Hanya kucing kampung yang dipungut mang Ipul dari pinggir komplek kontrakan para tukang.
“Meong.. meonng..”  Bohai kembali mengaduh pada tuhan tentang nasibnya yang tak rupawan. Ia ingin kembali ke kampung, bersama kucing-kucing polos yang juga tak kenal moral. Kucing kampung teman-teman Bohai yang selalu merasa bebas untuk mencari ikan asin dimanapun dan tidur dengan siapapun. Tentunya bagi mereka, Kelahiran anak tidak jadi masalah karena tidak butuh status marital, anak siapapun dan melahirkan dimanapun.
Kembali Bohai kebingungan karena ada program baru dari pemerintah kota tentang pengurangan jumlah anak demi mereduksi kemiskinan. Dua anak cukup! Seingat Bohai, itu slogan terakhir yang ia baca di pamplet-pemplet pinggir jalan. “duh, bagaimana ini, anak saya kan 6. Susah sekali hidup di dunia kucing yang bersinggungan dengan manusia,” rutuknya sembarang.
Suatu ketika si Bohai berjalan sendiri, sambil menggelandong perutnya yang buncit, dia berininsiatif untuk mengakhiri hidupya.
Baginya,  ketika mati, Roqib dan Atid tidak akan bertanya tentang amalannya di dunia. Tentang kenapa dia tidak menikah secara resmi dibawah bendera hijau KUA, tentang kenapa dia sering sekali berganti pasangan, tentang siapa Bapak dari anak-anak yang dikandungnya, dan tentang hal lain yang berkaitan dengan amalan, kesolehan, etika, dan moral.
Bahkan, ketika matipun, dia hanya pasrah menjadi tanah yang digeliati cacing dan di tumpahi muntah kucing. Dia akan hidup sebagi tanah, bersama mayat orang-orang gila dan sinting. Karena itu sudah ketentuan tuhan
Bohai berjalan menyusur takdir, “sebentar lagi,” fikirnya.




4 komentar:

  1. kalo boleh subjektif, C+ buat tulisan mba kali ini, kurang suka
    apa ya?
    ga bikin penasaran mba, tapi ya namanya juga selera, tapi tulisan mba yang laen2 saya suka

    saya tunggu tulisan mba yang berikutnya.... good point (:

    BalasHapus
  2. makasih atas komentar nya yang bertubi-tubi pda setiap tulisan saya

    BalasHapus