Kaum
perempuan pada waktu itu lebih banyak menyerap model-model glamour dari dunia publik
yang lebih fisik sambil sedikit demi sedikit melupakan tokoh-tokoh pejuang
perempuan Indonesia”--- Martha Tilaar
MARTHA
TILAAR,
Si “Elek”
yang Kian Rupawan.
“Martha Tilaar”, sejurus namanya mengingatkan kita pada sebuah
produk kosmetik lokal Indonesia. Sari Ayu , merupakan produk domplengan Martha
Tilaar yang cukup dikenal. Martha Tilaar sendiri bukan hanya ikon sebuah produk
kecantikan. Sesunguhnya ia merupakan sosok perempuan yang tangguh dan gigih
menggapai segala mimpinya. Perempuan berbudaya yang berkontribusi bagi bangsa
dengan memperkenalkan kearifan budaya lokal melalui pemanfaatan kosmetik
berbahan dasar alam tanah air.
Martha Tilaar, lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada 4 September 1937.
Ibunda Martha bernama Herna, dan ayahnya
bernama Hadana. Ia adalah keturunan Jawa Tionghoa. Kedua nenek dari pihak ayah
dan ibunya merupakan Jawa asli, asal Sleman dan Purworejo. Sedangkan kakeknya
yang bernama Pranoto Liem merupakan keturunan etnis Tiongkok. Semangat
wirausaha Martha memang tidak diwariskan sang ayah, karena beliau adalah
seorang guru pada masanya. Bakat itu datang dari “eyang kakung”, panggilan
Martha pada kakek nya yang merupakan seorang pedagang palawija sekaligus
seorang levaransir tentara Belanda di tangsi Gombong, Jawa Tengah.
Pelajaran menjadi seorang pengampit—sebutan untuk seorang
pedagang dalam bahasa jawa-- berawal
dari Martha kecil yang kerap sakit-sakitan sampai-sampai dirawat oleh 13 orang
dokter. Perkembangan daya pikir nya pun cendrung lambat, sehingga tidak
mendapatkan nilai akademis yang baik di sekolah. Ibunda Martha hawatir kondisi
tersebut berkelanjutan dan mempengaruhi aspek kehidupan Martha kelak. Herna akhirnya
mencoba menggali potensi lain dari sang buah hati. Diajari nya Martha bermacam
keterampilan, dari mulai keterampilan berjualan hingga keterampilan cara
memilih mana telur yang busuk dan telur yang segar, keterampilan berhitung dan
segala sesuatu yang berkenaan dengan “how to solve the problem”. Dari
pelajaran penting itu, pelan-pelan Martha tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.
Ia mulai belajar berdagang barang. Barang pertama yang ia jual adalah gelang
dan kalung yang ia rangkai dari tumbuh-tumbuhan sogok dan jali-jali putih.
Berikutnya, ia juga berjualan kue kacang pada teman-teman nya.
Beranjak dewasa, Martha tumbuh sebagai anak yang tomboy. Ia tidak
pandai merawat diri. Prilaku nya membuat ia tak ubahnya seorang cah lanang.
Ditambah hobinya main layangan dan berenang membuat kulit gadis ini terlihat
buram, rambut nya merah terkena sinar matahari tak terawat, sehingga kerap
dijuluki “elek” (Jelek). Apalagi saat itu Martha sudah menjadi mahasiswa
IKIP Jakarta sambil bekerja sebagai guru di Theresia.
Keterangan: Martha Tilaar sewaktu kecil
Sumber: google book: kecantikan perempuan timur
Lagi-lagi
Ibunda Herna menasihati akan penting nya merawat diri, terutama bagi guru yang
setiap hari harus berhadapan dengan murid. Pernah suatu kali ibunya menegur Martha
“Kamu ‘kan seorang guru, tapi ko kaya “dakocan”, apa murid-murid mu tidak
takut sama kamu?”. Karena itulah Martha diajak ibunya menemui guru
kecantikan di era 1970-1980 an, Ibu Titie Poerwsoenoe, untuk mengikuti les
kecantikan. Dari situ Martha mulai mencintai dunia barunya. Dunia baru yang
secara sadar ataupun tidak akan menghantarkan nya pada gerbang kesuksesan.
Keterangan: Martha Tilaar sewaktu mengikuti les kecantikan bersama
ibu Titie Poerwosoenoe.
Sumber: Googlebook: kecantikan perempuan timur
Nama Tilaar ia dapatkan setelah menikah dengan suaminya yang juga
merupakan dosen filsafat nya ketika kuliah di IKIP Jakarta, Prof. Dr. Henry Alex
Rudolf Tilaar atau dikenal dengan Alex Tilaar. Keduanya menikah pada tahun
1964. Alex mendapatkan beasiswa ke Amerika, dan Martha sebagai istri tentunya
harus turut mendampingi suaminya disana. Seraya mengisi waktu, sambil mengulik
kegemaran barunya di dunia kecantikan, Martha menyempatkan diri kuliah di Academy of Beauty
Culture, Bloomington, Indiana. Suaminya, Alex hanya mengandalkan beasiswa sebesar
210 dolar/bulan tanpa mendapat tunjangan keluarga. Disisi lain Martha harus
membiayai kuliahnya. Keterbatasan tersebut membuat Martha lebih kreatif dan inovatif.
Ia pun bekerja sebagai baby siter. Dalam waktu singkat ada 13 orang tua
yang menitipkan anaknya untuk dijaga Martha. Dari sana Martha mendapat tambahan
biaya untuk kuliahnya. Biaya-biaya itu dikumpulkannya hingga menjadi banyak.
Setelah dirasa banyak, ia berhenti mengasuh di siang hari, karena harus
mengikuti les bahasa Inggris dua kali seminggu, tetapi tetap mengasuh di malam
hari.
Keterangan:
Martha sewaktu kuliah di Academy of Beauty Culture, Bloomington, Indiana
Beruntung bagi
Martha, setamat kuliah ia mendapatkan state license dari Negara bagian
Indiana yang sangat sulit diperoleh, sehingga ia bisa mempraktikan ilmunya
disana dengan menjadi seorang beautician. Martha kemudian membuka salon,
menjajal kemampuannya dari satu rumah ke rumah berikutnya. Bahkan mantan dosen
nya yang “angker” sewaktu kuliah pun di datanginya. Tak disangka istri-istri
mereka senang didandani. Martha juga mulai membuka praktek. Ia membuat
selebaran bergambar dirinya yang sedang merapikan rambut bertuliskan “Im an
Indiana state licensed beautician and would you like to serve your family –
(Cuting and hairdo)”
Keterangan:
Selebaran jasa salon Martha sewaktu di Amerika
Googlebook: kecantikan perempuan timur
Ia terus menekuni
pekerjaannya sebagai seorang beautician sambil sesekali, jika ada
ibu-ibu dari Indonesia yang mengikuti tugas suaminya di Amerika, Martha sigap
menawarkan jasa salon nya. Martha juga sempat bekerja di salon milik
almamaternya, Campes Beauty
Salon, Universitas Indiana, AS selama
3 tahun.
“DREAM BIG, START
SMALL, AND ACT NOW”
Kata-kata diatas
adalah pamungkas bagi Martha dalam menggawangi usahanya. Sekembalinya dari
Amerika, bermodalkan uang 1 juta rupiah yang merupakan hasil tabungan nya
selama bekerja di Amerika, serta sumbangan dari ayah dan adik-adiknya, maka pada
3 januari 1970 berdirilah sebuah salon kecil berukuran 6x4 bernama Martha’s
Salon. Martha nekat dan tak pantang menyerah melakoni usaha ini walaupun salon
tersebut harus bertempat di sebuah garasi rumah milik ayahnya di Jl Tosari no.
49 Menteng.
Memang, pada saat
itu tidak banyak salon di Jakarta dengan fasilitas berstandar “kelas atas” yang
didukung tenaga ahli kecantikan yang mumpuni. Martha membaca kondisi itu
sebagai sebuah peluang besar. Ia mulai mengotak-ngatik salon nya. Mendesain
nya senyaman mungkin; ruang ber-ac, fasilitas air panas-dingin--- sesuatu yang
tak lazim pada saat itu , fasilitas generator milik pribadi--- agar listrik
tidak mudah byar pret, kebersihan yang
terjaga serta segala detail manajemen yang sangat diperhatikan. Dalam kurun
tertentu, salonnya menyedot perhatian kaum hawa, terlebih para istri pejabat, seperti
Ibu Rahmi Hatta, Ibu Nelly Adam Malik, Ibu Umar Wirahadikusumah dan Ibu-ibu
duta besar lainnya.
Lama-kelamaan,
salon Martha tidak lagi dapat menampung para tamu yang datang. Salon diperluas
hingga ke rumah. Penghuni rumah harus rela mengalah. Mereka terpaksa tinggal di
sebuah ruangan berukuran kecil, bahkan ayah nya harus tidur di garasi. Dua
tahun kemudian, Martha melakukan ekspansi. Cabang salon nya di buka di dua
tempat, Jl Jawa 2A dan Cikini, “Tempat untuk merawat wajah dan tubuh wanita
itu, saya beri nama Martha’s Griya Salon,” tulis Martha dalam buku nya yang
berjudul Kecantikan Perempuan Timur.
Keterangan:
Segalanya berawal dari sebuah ruangan berukuran 6x4 meter, di garasi rumah
orang tua Martha.
Googlebook: kecantikan perempuan timur
PELAJARAN TENTANG TIMUR DARI EROPA
Demi memperkaya ilmu nya di
bidang kosmetik tradisional, dua tahun setelah pembukaan salon nya, 1972, ia ke
Eropa untuk belajar lebih banyak tentang kecantikan. Semula Martha mengira
bahwa Eropa sebagai pusat kecantikan dunia akan memakai aspek-aspek teknologi
modern dalam kosmetik nya. Namun diluar dugaan, di Eropa saat itu tengah
dilanda demam “kembali ke alam”. Orientasi kecantikan disana sudah
berubah. Masyarakat nya jenuh dengan segala sesuatu yang dianggap modern dan
mendambakan ramuan-ramuan yang diambil dari alam. Lalu dikunjungi nya lah
pabrik kosmetik yang mengolah bahan kosmetik dari ramuan, seperti pabrik Yves Rocher di Prancis, Mary Quant di Inggris, dan Hartleben di
Jerman Barat. Ketika Martha berkunjung
ke Belanda dan bertemu seorang pakar kedokteran, ia malah disuruh untuk kembali
ke Indonesia, seraya berujar, “ Kamu aneh, kalau kamu ingin memperdalam ilmu
untuk mempercantik perempuan Indonesia, tempat nya tidak disini. Warna kulit
kita, mata kita, bentuk hidung kita, bahkan musim kita sangat berbeda. Kamu
tidak bisa mempercantik orang Indonesia dengan cara barat.” Teguran tersebut
menyadarkan Martha bahwa segala sesuatu yang datang dari Barat belum tentu yang
terbaik. Ada juga dari timur yang tidak kalah baiknya. Sejak itulah Martha mulai menggali kekayaan
budaya nenek moyang untuk mempercantik perempuan Indonesia.
Kemudian, setelah
dibukanya 2 cabang salon di jl Jawa dan di Cikini, Martha mulai melangkah
kembali dengan mengambil isu “mengungkap rahasia keraton”. Sadar dirinya bukan
keturunan keraton, maka ia mengajak sahabatnya, BRA Mooryati Soedibyo untuk
mengembangkan usaha dan memproduksi “Mustika Ratu”. Ia juga belajar resep-resep
jamu dari tokoh keraton lainnya, seperti pada Ibu Laksminto Rukmi. Hasil kerjasama
dengan para penghuni keraton menyebabkan produk Mustika Ratu sangat booming.
Sayang nya, kerjasama tersebut harus putus “baik-baik”, karena Mooryati
Soedibyo memilih untuk menjalankan usahanya sendiri. Sebagai manusia biasa,
tentunya Martha sangat terpukul. Ia harus memulai semua dari nol lagi. Meski
demikian, ternyata tuhan merencanakan kebahagiaan lain pada Martha. Tepat di
tahun yang sama, Martha akhirnya melahirkan seorang anak yang sehat setelah sebelumnya
Martha divonis mandul selama 11 tahun.
Lalu ditahun-tahun
berikutnya, Martha kembali melahirkan anak nya yang ke-2, ke-3 dan ke-4.
Seiring dengan perjalanan
nya , Martha mulai menjalin kerjasama dengan patner barunya, Kalbe Group,
Theresia Harsini Setiady untuk mendirikan perusahaan kosmetik dan jamu bernama
PT. Martino Berto. Produk pertama yang diluncurkannya adalah Sari Ayu Martha
Tilaar. Mulai tahun 1999, Martha Tilaar Group mulai membeli seluruh saham
kosmetik yang dikuasai Kalbe Farma.
BERKAH KRISIS MONETER
Pada tahun 1998, kondisi
dalam negeri Indonesia mengalami carut marut ekonomi. Harga rupiah melemah
terhadap dolar. Negeri ini mulai dilanda inflasi. Harga barang membumbung
tinggi, daya beli masyarakat melemah. Tapi bagi Martha Tilaar, ternyata krisis
ini membawa berkah. Bila semula mereka memakai produk luar negeri yang harganya
selangit, setelah krisis moneter, konsumen mulai memilah produk lokal yang
harganya lebih irit. Martha sudah sangat siap dengan kondisi tersebut. Sehingga
produknya terserap dengan baik. Kondisi krisis telah mempercepat penjualan
produk Martha. Produk lipstick two in one Sari Ayu memegang kendali
paling besar dalam penjualan. Produk ini disebut-sebut sebagai kosmetik bagi
para perempuan mapan. Kualitasnya pun tak di ragukan, karena terlahir dari
kejelian Martha yang sudah teruji. Pembeli produk impor mahal melirik produk lokal
Martha Tilaar. Seolah menjadi Blessing in disguise bagi Martha, tanpa
bermaksud mensyukurinya, tetapi krisis moneter merupakan sebuah keuntungan bagi
bisnis Martha.
Sampai hari ini, Martha
Tilaar masih konsisten dengan perjuangan nya. Perusahaan yang bermula dari modal
yang kecil dan mimpi yang besar, kini tumbuh besar dan kuat, bahkan menjadi “Nyonya Rumah” di negeri sendiri. Martha
Tilaar Group saat ini sudah memayungi banyak anak perusahaan yang terdiri atas
PT Martino Berto, PT Cantika Puspa Pesona, PT Cedefindo, PT Martha Beauty
Gallery, PT Estrella Lab, PT SAI Indonesia (sebelum nya, PT Sari Ayu
Indonesia).
Keterangan: beberapa
pengahargaan yang diterima perusahaan kosmetik Martha Tilaar
Sumber:
Marthatilaargroup.com
PESAN PENTING SEBUAH
FILOSOFI
Kegigihan dan keteladanan tidak diwariskan
tuhan sejak dalam kandungan. Ia ada karena manusia berusaha. Demikian hal nya
dengan Martha Tilaar. Siapa sangka seorang anak penyakitan, tomboy, dan
berparas elek ketika remaja ternyata dapat tumbuh menjadi gadis rupawan.
Rupawan dalam kecantikan, rupawan dalam pribadi. Si elek yang dahulu rambutnya
merah kusam, kulitnya hitam buram, kini berhasil menciptakan kosmetik yang
tidak hanya bisa mempercantik dirinya sendiri bahkan bisa mempercantik seluruh
wanita setanah air.
Ia juga menghargai bangsanya
dengan tidak berkiblat pada kosmetik luar. Martha percaya kekayaan alam yang dikaruniakan
tuhan pada Indonesia patut disyukuri. Dan kita sebagai bangsa nya harus
berbangga diri dengan cara menghargai,
memanfaatkan serta menyadarkan masyarakat akan penting nya penggunaan produk lokal
yang secara alami disarikan dari kekayaan alam Indonesia. Dengan begitu, niscaya
kosmetik buatan anak bangsa akan menjadi “juragan” di rumah sendiri.
Sikap demikian sangat
penting, sebab bak mencari jarum di tumpukan jerami, saat ini tidak banyak para
pelaku usaha memiliki jiwa nasionalisme seperti Martha. Kebanyakan dari mereka
hanya memikirkan ceruk kantong masing-masing tanpa memperhatikan kepedulian sosial
serta dampak nya bagi masyarakat. Tak peduli kosmetik tersebut berbahan dasar
kimia, berbahaya bagi kesehatan atau bahkan sampai mematikan, beberapa
perusahaan yang tak bertanggung jawab terus saja menjual nya seperti mereka
menjual kacang, ambil kacang nya, lupakan kulitnya. Ambil uang nya, lupakan
akibatnya.
Martha berbeda dari yang
lain. Konsep DJITU yang ia pegang selama ini, ternyata benar-benar “jitu”
menghantarkannya pada kesuksesan. Arti DJITU ala Martha adalah disiplin, jujur,
iman, inovatif dan tekun. Sudah sepatutnya konsep tersebut segera dibumikan dan
diteladani banyak orang. Karena Indonesia butuh para pengusaha bermental
positif seperti dirinya. Pengusaha yang jujur agar kekayaan alam tidak hanya
dikuras, tetapi juga di manfaatkan untuk negerinya. Pengusaha yang disiplin
agar tetap konsisten dengan cita-cita dan mimpi besarnya. Pengusaha yang
beriman agar produk yang dibuatnya senantiasa bermanfaat tidak hanya bagi
manusia tetapi juga tidak merugikan alam. Pengusaha yang inovatif agar segala
jerih fikiran nya selalu didekasikan demi sebuah karya yang berkualitas dan
kreatif. Serta pengusaha yang tekun, agar semua yang ia usahakan tidak hanya
sekedar menjadi mimpi di siang bolong.